oleh: Agus Sumiyanto
“O you who believe! If a sinner comes to you with any news, ascertain the truth, lest you harm people unwittingly, and afterwards become full of repentance for what you have done” (QS. al-Hujurat/49: 6).
Kita sekarang hidup pada era digital, yang di dalamnya penuh dengan limpahan informasi dari berbagai belahan dunia.
Sejak alam dunia terbentang, umat manusia tidak pernah luput dari yg namanya informasi. Nabi Adam as diberi amanah sbg khalifah di muka bumi karena memiliki keunggulan di bidang informasi (al-asmaa’), dibanding para malaikat.
Namun tak dapat dipungkiri bahwa selain informasi yg benar, tak sedikit pula informasi yg beredar di tengah masyarakat mengandung unsur kepalsuan (hoax).
Pada era Islam awal, manusia sekelas Nabi Muhammad Saw saja pernah terpapar informasi hoax, yakni isu tentang perbuatan keji antara Aisyah (isteri Nabi) dgn seorang sahabat, Safwan Ibnu Mu’attal, keduanya tertinggal dari rombongan, sebab Aisyah harus mencari kalungnya yg hilang, akhirnya keduanya terlambat tiba di Madinah. Namun isu hoax tsb dikoreksi oleh al-Qur’an (QS. an-Nur/24: 11-22).
Mengingat arus deras informasi dewasa ini semakin tak terbendung, maka beberapa tips berikut ini dapat dijadikan pegangan dalam menyeleksi informasi yg tidak benar:
1. Meminjam teori kritik hadis ttg SANAD (aspek informan) maupun MATAN (isi pesan), kita bisa mengkritisi subjek atau sumber informasinya memang kredibel dan materi informasi sesuai dgn akal sehat atau data, fakta, rujukan atau link-URL yg valid, terlebih lg bila terkait kasus hukum. Namun, bisa saja orang yg kredibel tetap terpapar informasi hoax, sebaliknya orang yg tidak kredibel boleh jadi memberikan informasi yg benar (spt kesaksian Nazarudin dalam kasus Hambalang).
2. Melakukan tabayyun langsung (direct clarification) kepada orang yg terkait dgn isu yg berkembang ttg dirinya.
3. Umumnya informasi yg benar tidak menggunakan kata-kata yg bombastis, sarkastis dan sejenisnya.
4. Sejauh analisis subjektif ttg seorang figur yg bersifat negative campaign, tentu masuk pada aspek criticism yg bisa diterima. Hanya informasi yg berbau fitnah (black campaign) yg tidak dibenarkan dan bisa dijerat oleh UU ITE maupun pidana lainnya.
5. Idealnya, penerima informasi jangan langsung percaya pada sebuah materi atau sumber informasi yg diperoleh, tetapi harus membandingkannya dengan sumber informasi resmi lainnya. Misalnya, membaca atau mendengar berita tidak cukup dari satu portal berita/TV saja, tetapi jauh lebih baik membandingkan dengan portal berita/TV yg lain.
6. Terkadang kita menerima kiriman sebuah gambar yg boleh jadi itu hasil editan atau gambar yg berbeda tahun dan tempat kejadiannya. Untuk kasus ini link Google Image bisa membantu untuk klarifikasi. Demikian pula ttg video yg boleh jadi sudah mengalami editan.
7. Jika kita menolak sebuah ide atau informasi dari seseorang, fokuslah pada ARGUMENT yg disampaikan, hindarilah sikap yg apologetik dan JUDGEMENT.
8. Terkait isu keagamaan, harus dicermati apakah sang informan sedang memposisikan diri sbg INSIDER (lebih kental keterlibatan emosionalitas keberagamaan yg subjektif) atau sbg OUTSIDER (lebih mengkaji atau melakukan analisis sbg “pengamat”).
9.Dinamika dunia IT yg sangat berubah cepat tentu membutuhkan reformasi hukum terkait UU ITE, cyber crime, dsb.
10. Setiap orang tentu wajar saja memposisikan diri sbg LOVER ataupun HATER terhadap suatu isu atau figur tertentu. Jika terjadi pro kontra suatu informasi yg tak bisa didamaikan, maka jalur yuridis-konstitusional merupakan jalan terbaik untuk dijadikan solusi. Apapun keputusan hukum, harus diterima dgn lapang dada oleh para pihak yg bertikai. Itulah cara berdemokrasi yg baik.
11. Secara global, ada dua isu besar yg dihadapi masyarakat dunia dewasa ini: global Capitalism (para penguasa modal plus media) yg umumnya melahirkan ketimpangan sosial, dan global Salafism (global Conservativism) yakni munculnya kelompok perlawanan yg umumnya bernuansa politik tetapi seringkali dibungkus dgn jubah keagamaan yg sektarian
Hal ini seringkali berkaitan dgn apa yg dikenal dgn istilah: proxy war.
12. Imam Syafi’i, bapak ushul fiqih, Ia menyebut kegiatan menyebarkan informasi yang belum diketahui benar-tidaknya sebagai al-kadzib al-khafiy (kebohongan tak terlihat/samar). dalam kitab Ar-Risâlah:
أن الكذب الذي نهاهم عنه هو الكذب الخفي، وذلك الحديث عمن لا يُعرفُ صدقُه
“Sesungguhnya kebohongan yang juga dilarang adalah kebohongan tak terlihat, yakni menceritakan kabar dari orang yang tak jelas kejujurannya.”
Akhirnya, menurut Menkoinfo, saat ini ada sekitar 800.000 situs hoax yg beredar di internat. Maka, jagalah diri dan keluargamu dari panasnya neraka hoax. Salam demokrasi religius. (semangat 3/1/17)