Reporter: Ummu Azka Amalina
MENTARI.NEWS, SOLO-Modernisasi membawa dampak terhadap perubahan gaya hidup, khususnya di Indonesia. Perbedaan gaya hidup masyarakat pedesaan dan perkotaan pun seiring berjalannya waktu tidak bisa dibedakan. Keduanya terpengaruh arus modernisasi yang terus berkembang. Hal ini pun memengaruhi perubahan gaya hidup seperti pakaian, makanan, sampai dengan cara bersosialisasi.
Rini Lestari, S.Psi, M.Si dosen Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) bidang peminatan Psikologi Sosial mengungkapkan kepada Mentari.news, di era modern ini masyarakat pedesaan dan perkotaan terbagi menjadi tiga bagian, yaitu desa asli, desa rasa kota, dan pusat kota. Masing-masing daerah mempunyai respons berbeda-beda terhadap pengaruh modernisasi.
Apa perbedaan gaya hidup di desa dan di kota?
Kota itu pusat perkotaan, ada yang desa, dan desa rasa kota. Misalnya, Gonilan kan sebenarnya desa tetapi karena berbatasan langsung dengan Surakarta dan kebetulan di Pabelan itu ada kampus, banyak kos-kosan maka itu desa tapi desa rasa kota. Sehingga yang desa bangetnya itu nggak kerasa.
Yang kerasa banget kan orang-orang asli. Cuma kalau kaitannya sama remajanya. Pabelan ini kan banyak pendatang, maka para pendatang itu yang membawa berbagai macam gaya hidup, mereka juga ada yang dari desa asli tapi juga ada yang dari kota, Jogja misalnya, maka bisa membawa pengaruh ke penduduk asli.
Bisa jadi kota dan desa rasa kota ini menjadi tidak begitu nampak perbedaannya. Tapi kalau yang penduduk asli maka gaya hidup itu masih bisa terlihat, misalnya dalam gaya hidup berpakaian, berperilaku, makanan.
Bagaimana dengan gaya hidup masyarakat pedesaan?
Kalau desa rasa kota ini dalam beberapa hal sama, yang membedakan yaitu adanya kontrol sosial. Tinggalnya kan sebenarnya di desa tapi karena dekat dengan kota maka perilakunya lebih banyak orang kota. Tapi karena dia di desa, kekeluargaan, keterkaitan antar tetangga masih ada, sehingga masih ngelekke (memperingatkan-red) kalau itu nggak pantes, lah di sini.
Kalau nggak mau ikut aturan sini bisa keluar dari kampung ini, masih ada kontrol sosial. Kalau di kota individualis. Kalau daerah perbatasan ini banyak perumahan-perumahan baru, rasanya rasa kota. Nah, yang kampung ini, kampung modern.
Remaja desa, untuk beberapa hal berbeda, karena memang kontrol sosialnya kuat, misalnya mau pakai seperti orang kota, tetangga itu ngerasaninya lebih nyinyir, deso kok ngono, ora pantes, kayak gitu. Nanti dia akan dikenai sanksi sosial. Apalagi di desa itu kekerabatannya masih kuat. Kalau akhirnya tersisih, dia tidak nyaman lalu keluar dari desa.
Tapi kalau masih mau tinggal di situ, mau nggak mau kan menyesuaikan. Makan model tradisional banget, bancaan itu kan masih ada. Sehingga makanan-makanan tradisional itu masih. Olahraga kan masih ada sepak bola hujan-hujanan, badminton, voli, masih ada itu kan memungkinkan karena lahannya masih luas.
Terus masih banyak juga momen-momen di mana remaja harus berkumpul seperti karang taruna. Padahal kalau mau sibuk itu sebenarnya sama-sama sibuk, wong deso yo sekolah. Bahkan kalau mereka sekolah, kalau mau sekolahnya bagus, jauh, di kota. Waktu mereka habis di jalan, kalau pulang yo wes kesel.
Memang difasilitasi harus ada satu hari atau beberapa hari ketemu, karena kalau nggak kan dikucilkan. Ada sanksi sosial, sanksi sosial itu yang memaksa seseorang untuk mau nggak mau hadir, supaya diakui, kalau secara psikologis nggak nyaman, ia nggak punya teman di situ.
Lainnya, nyinom itu sebenarnya esensinya bukan cuma menghantar makanan, kalau cuma menghantar makanan gampang tinggal manggil orang. Tapi esensi sebenarnya beda. Area atau momen untuk mengumpulkan para pemuda di situ untuk bekerja bersama-sama itu kan gotong royong.
Ada hajatan, layatan, jadi kalau ada momen gitu datang. Kenapa masih kerasa? Karena memang kontrol sosial masyarakat di situ kuat, baik mungkin teman, tetangga , atau tokoh yang ada di situ.
Apa penyebab perbedaan gaya hidup remaja di desa dan di kota?
Kalau remaja kota karena pengaruh informasi teknologi sekarang semuanya sudah mengglobal, akses internasional itu gampang banget. Tidak bisa lagi dibedakan ini orang Indonesia ataupun nonIndonesia. Dilihat dari cara berpakaian sudah modern, trend-nya, brand-nya, sudah sama.
Makanan bukan lagi menjadi makanan yang tradisional, seperti lemper. Kalau orang kota banget kan lebih banyak makan-makanan modern, bahkan ada orang kota yang tidak mengenal makanan daerah, seperti rondo royal, mulai tidak dikenal oleh remaja. Kalau remaja sekarang tidak suka seperti itu, justru yang suka adalah orang dewasa, lansia, atau pecinta kuliner jadul.
Remaja sekarang semakin tergerus menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Coba dilihat, kantin sekolah jualnya apa? Yang dijual makanan-makanan yang sudah jadi. Kalau jajan, yang dibeli juga bukan makanan tradisional.
Karena makanan tradisional cenderung basah, dan bagi penjual kalau nggak laku, rugi. Sehingga, karena jarang ada yang suka tidak banyak dijual. Nah, karena ada kondisi itu sedikit demi sedikit makanan itu kan terkikis, banyak yang tidak kenal.
Di rumah orang tua juga tidak mengenalkan, misalnya karena kesibukan orang tua sendiri sehingga tidak sempat membuat membuat makanan seperti itu. Terus hobi, kalau dulu remaja laki-laki suka sepak bola, itu universal di desa dan kota ada.
Tapi sekarang yang sepak bola sedikit banget. Sepak bola kalau tidak di sekolahan atau mereka yang klub. Sekarang sepak bola diganti jadi futsal karena areanya yang lebih kecil, orang lebih sedikit, itu karena terbatasnya lahan juga.
Waktu luang, sekarang banyak yang menggunakan gadget, interaksinya terbatas, sekarang serba online, beli sesuatu, pergi, dan sebagainya online. Mengisi waktu luang, dulu nonton TV sama teman-teman sambil jajan bareng. Sekarang nggak, akhirnya TV yang lebih memanfaatkan identik dengan ibu-ibu yang suka sinetron. Remaja kota Nampak banget karena kemajuan teknologi.
Tapi sekarang dengan berkembangnya teknologi, nggak tertinggal jauh banget. Karena di desa ada kontrol sosial, sehingga agak mengontrol sesuatu yang dianggap tidak lazim. Di samping itu, teknologi kan sekarang masuk desa sehingga aksesnya juga lebih mudah, jalan sekarang sudah diaspal, komputer sudah ada.
Jadi sebenarnya kalau remajanya itu nggak ketinggalan dengan di kota, hampir sama. Cuma kalau penampakannya berbeda, tidak seperti orang kota karena ewuh perkewuh, diomongin tetangga. Tapi kalau remaja desa kuliah di sini (UMS-red) tidak bisa dibedakan mana yang dari desa dan dari kota.
Perbedaannya tidak terlalu terlihat kalau remaja, beda lagi kalau orang tua, lansia gitu beda yang asalnya dari desa asli dan yang tinggal di kota berbeda. Karena adanya faktor lingkungan yang menjadikan itu tidak sebebas di kota. Sebenarnya kesempatan itu ada, tapi terbatas.